MK Putus Aturan Pekerja "Outsourcing"
Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan aturan untuk pekerja kontrak ("outsourcing") dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atau bersyarat. "Aturan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja atau buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh," kata Ketua Majelis Hakim MK Mahfud MD, saat membacakan putusan di Jakarta, Selasa.
Menurut mahkamah, frasa "perjanjian kerja waktu tertentu" dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa "perjanjian kerja untuk waktu tertentu" dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan itu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Permohonan pengujian UU Ketenagakerjaan ini dimohonkan oleh Didik Suprijadi yang mewakili Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML).
Dalam pertimbangannya, mahkamah menilai posisi pekerja atau buruh "outsourcing" dalam hubungannya dengan perusahaan "outsourcing" menghadapi ketidakpastian kelanjutan kerja apabila hubungan kerja antara pekerja atau buruh dengan perusahaan dilakukan berdasarkan PKWT.
"Apabila hubungan pemberian kerja antara perusahaan yang memberi kerja dengan perusahaan outsourcing atau perusahaan yang menyediakan jasa pekerja atau buruh outsourcing habis karena masa kontraknya selesai, maka habis pula masa kerja pekerja/buruh outsourcing," kata Ahmad Sodiki, saat membacakan pertimbangannya.
Akibatnya, lanjutnya, pekerja/buruh menghadapi risiko tidak mendapatkan pekerjaan selanjutnya karena pekerjaan borongan atau perusahaan penyediaan jasa tidak lagi mendapat kontrak perpanjangan dari perusahaan pemberi kerja.
Selain adanya ketidakpastian mengenai kelanjutan pekerjaan, kata Ahmad Sodiki, pekerja atau buruh akan mengalami ketidakpastian masa kerja yang telah dilaksanakan karena tidak diperhitungkan secara jelas akibat sering bergantinya perusahaan penyedia jasa outsourcing, sehingga berdampak pada hilangnya kesempatan pekerja outsourcing untuk memperoleh pendapatan dan tunjangan yang sesuai dengan masa kerja dan pengabdiannya.
Mahkamah menilai ketidakpastian nasib pekerja atau buruh sehubungan dengan pekerjaan outsourcing tersebut, terjadi karena UU Ketenagakerjaan tidak memberi jaminan kepastian bagi pekerja/buruh outsourcing untuk bekerja dan mendapatkan imbalan serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja dan tidak adanya jaminan bagi pekerja untuk mendapat hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sehingga esensi utama dari hukum perburuhan.
MK juga menyatakan bahwa aturan tersebut tidak saja memberikan kepastian akan kontinuitas pekerjaan para pekerja outsourcing, tetapi juga memberikan perlindungan terhadap aspek-aspek kesejahteraan lainnya, karena dalam aturan tersebut para pekerja outsourcing tidak diperlakukan sebagai pekerja baru.
"Masa kerja yang telah dilalui para pekerja outsourcing tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, sehingga pekerja outsourcing dapat menikmati hak-hak sebagai pekerja secara layak dan proporsional," katanya.
Apabila pekerja outsourcing tersebut diberhentikan dengan alasan pergantian perusahaan pemberi jasa pekerja, kata majelis, maka para pekerja diberi kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan berdasarkan hal itu kepada pengadilan hubungan industrial sebagai sengketa hak.
Majelis MK menyatakan bahwa putusan tersebut untuk menghindari perbedaan hak antara pekerja pada perusahaan pemberi kerja dengan pekerja outsourcing yang melakukan pekerjaan yang sama persis dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja.
6 komentar:
Tak bisa kita pungkiri, memang inilah salah satu konsekuensi penerapan aturan yang bukan dari pencipta Allah SWT, kepastian hukum tidak jelas...Mari kita kembali ke syariat islam. Islam punya pengaturan yang sesuai dengan fitrah manusia sehingga setiap buruh atau pekerja tak pusing memikirkan nasib hidupnya seperti sekrng ini. Adanya kewajiban negara dalam penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat termasuk menjamin kebutuhan tiap individu akan membawa kemaslahatan bagi seluruh umat...
Roudotul Sitanggang
10.23.399
Tak bisa kita pungkiri, memang inilah salah satu konsekuensi penerapan aturan yang bukan dari pencipta Allah SWT, kepastian hukum tidak jelas...Mari kita kembali ke syariat islam. Islam punya pengaturan yang sesuai dengan fitrah manusia sehingga setiap buruh atau pekerja tak pusing memikirkan nasib hidupnya seperti sekrng ini. Adanya kewajiban negara dalam penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat termasuk menjamin kebutuhan tiap individu akan membawa kemaslahatan bagi seluruh umat...
Roudotul Sitanggang
10.23.399
ya...
memang sangat ironis,, kesejahteraan tenaga kerja tidak ada yang menjamin. karena memang tidak mengatur dengan aturan yg seharusnya.. padahal ketika kita meihat dalam prespektif islam, tentang ketenagakerjaan juga diatur dan dijamin kesejahteraannya..
ya...
memang sangat ironis,, kesejahteraan tenaga kerja tidak ada yang menjamin. karena memang tidak mengatur dengan aturan yg seharusnya.. padahal ketika kita meihat dalam prespektif islam, tentang ketenagakerjaan juga diatur dan dijamin kesejahteraannya..
KHOIRUNNISA N P
10.23.372
Ya, sangat ironis memang.
outsourching dan masalah lain dalam ketenagakerjaan merupakan derivasi dari masalah utama mengenai pandangan upah yang adil kepada tenaga kerja sebagai factor produksi. Namun, karena sistem sekarang terjebak dalam sistem industry, sistem hidup yg berpatok pada materi, tiap orang berlomba-lomba mengejar keuntungan materi sebesar-besarnya dengan cara yang sebebas-bebasnya. Termasuk negeri ini jg terjebak pada sistem yang berpatok pada materi, sehingga segala kebijakan yang diambil hanya untuk kepentingan para kapitalis/pemilik modal.
Kebijakan pemerintah mengenai outsourching ini, jelas tidak adil. Kebijakan tersebut hanya menguntungkan para pemilik modal, dan sebaliknya sangat menyengsarakan rakyat kecil, rakyat akan terombang-ambing krn tidak memiliki pekerjaan pasti utk menopang kebutuhan hidupnya.
Terlebih penentuan upahnya didasarkan pada harga barang yang berpatok pada UMR, hal ini akan mengakibatkan kedzaliman terhadap pekerja, karena musta’jir (orang yang mempekerjakan) akan dapat seenaknya menaikkan dan menurunkan upahnya dengan alasan adanya kenaikan dan penurunan produksi.
Nita Kurnia Ambarwati
(10.23.392)
kebijakan terkait outsourcing ini sangat tidak sesuai dengan sistem ujroh dalam islam (ijarotul ajir) karena yang seharusnya seorang ajir diberikan ujroh sesuai dengan seberapa besar manfaat yang telah dia berikan kepada musta'jir, tetapi kebijakan yang ada justru dengan standar upah minimum apalagi outsourcing atas nama sebuah yayasan maka gaji sudah kecil dipotong juga oleh yayasan,, ketika dibutuhkan diberi penempatan kerja tetapi jika perusahaan sudah tidak membutuhkan (alias borongan itu) mereka dibuang gitu aja,, maka kebijakan seperti ini sangat dzalim,,faktanya sangat jelas saya rasakan ketika berada diperusahaan manufactur diJakarta yang notabene bagian produksi mengambil buruh dengan sistem outsourcing ketika produksi besar2an mereka digunakan ketika selesai maka kontrak kerja mereka juga selesai,,,ini diakibatkan sistem ketenagakerjaan yang tidak berasaskan pada sistem ekonomi islam,, lebih lanjut silakan baca kitab2 yang terkait ijarotul ajir ^^
Nurul rachmah (09.22.112)
Posting Komentar