MEMAKNAI KEKALAHAN SEPAK BOLA INDONESIA
ADU penalti, konon bukan jalan yang disukai pemain sepak bola. Memang ada pahlawan, tetapi selalu ada pecundang. Ada yang mencatat momen indah sepanjang hidup, ada pula yang terbelenggu penyesalan tak tepermaknai. Dan, tim sepak bola kita mengulang kekalahan di partai pamungkas 1997 dengan cara yang sama: drama penalti.
Di balik semua itu, pastilah sejuta rasa memaknai kekalahan Garuda Muda dari Harimau Malaya dalam final SEAGames Ke-26 di Stadion Gelora Bung Karno, semalam. Sejuta rasa: ketika sepak bola tidak lagi dibiarkan berada dalam ruang kesakralannya, melainkan sudah dibawa seolah-olah menjadi bagian dari perseteruan di wilayah yang lebih dari sekadar urusan olahraga.
Yang ada dalam pikiran Egi Melgiansyah dan kawan-kawan, juga Badrol Bakhtiar cs, apakah hanya ada bola, para pemain lawan, gawang, dan wasit? Apakah yang lebih banyak berkecamuk di kepala pemain bukan justru urusan-urusan “kehormatan nonsepak bola“? Bagaimana dengan puluhan ribu suporter yang penuh histeria memadati stadion?
Bagaimana pula perasaan puluhan juta pemirsa televisi di Tanah Air?
Harga diri, kehormatan bangsa: usikan usikan semacam itu terasa lebih menggelora ketimbang “rasa olahraga“-nya setiap kali kita berhadapan dengan Malaysia. Lapangan bola telah menjadi “Tanah Air“, wilayah kedaulatan yang berarti segalanya, kristal dari aneka persoalan yang menggumpal.
Bagaimana pula perasaan puluhan juta pemirsa televisi di Tanah Air?
Harga diri, kehormatan bangsa: usikan usikan semacam itu terasa lebih menggelora ketimbang “rasa olahraga“-nya setiap kali kita berhadapan dengan Malaysia. Lapangan bola telah menjadi “Tanah Air“, wilayah kedaulatan yang berarti segalanya, kristal dari aneka persoalan yang menggumpal.
Simbolisme kemeradangan rasa “permusuhan“ itu telah ter-setting oleh kondisikondisi di luar sepak bola. Menjadi “rival“ secara sosial-politik, kita seperti melawan inferioritas dalam peta persoalan buruh migran, klaim atas Sipadan dan Ligitan, isuisu perbatasaan, juga klaim-klaim budaya menyangkut kekayaan atas hak intelektual. Dan, sepak bola dianggap sahih sebagai katarsis peluapan semua itu.
Musuh Bebuyutan Benarkah Malaysia merupakan musuh bebuyutan kita dalam sepak bola? Atau, kondisi itu ter-setting lebih sebagai representasi dari pertikaian di wilayah “jagat besar“? Sebelum era 1980-an, timnas Indonesia tidak memosisikan Malaysia sebagai “musuh berat“. Bahkan ada masa-masa turnamen Merdeka Games di Kuala Lumpur menjadi “panggung“ sepak bola kita pada dekade 1960-an.
Musuh Bebuyutan Benarkah Malaysia merupakan musuh bebuyutan kita dalam sepak bola? Atau, kondisi itu ter-setting lebih sebagai representasi dari pertikaian di wilayah “jagat besar“? Sebelum era 1980-an, timnas Indonesia tidak memosisikan Malaysia sebagai “musuh berat“. Bahkan ada masa-masa turnamen Merdeka Games di Kuala Lumpur menjadi “panggung“ sepak bola kita pada dekade 1960-an.
Memang ada kemenangan-kemenangan mudah, kekalahan menyakitkan, dan pertandingan-pertandingan sulit yang dilewati dalam “derby Melayu“. Kalau kita pernah mengalami kekalahan menyakitkan, 0-6 dalam Pra-Olimpiade 1980 di Kuala Lumpur, skor besar yang sama bisa dibalas oleh Ali Sunan dkk dalam penyisihan SEAGames 1999 di Bandar Seri Begawan, 6-0, menyusul skor 5-1 di babak grup Piala AFF 2010, dan di SEA Games Jakarta 1997 kita unggul telak 4-0.
SEA Games menorehkan sejarah “duel khusus“ bagi Indonesia dan Malaysia. Pada 1979, untuk kali pertama kedua tim bertemu di final. Setelah bermain 0 -0 di babak penyisihan, babak final memperlihatkan keunggulan Malaysia lewat gol Mokhtar Dahari ke gawang kiper asal Jepara Haryanto.
Dua tahun sebelumnya, dalam SEAG 1977 di Kuala Lumpur, perseteruan Indonesia Malaysia tercermin bukan di babak penyisihan yang dimenangi Iswadi Idris dkk 2-1, namun justru di semifinal menghadapi Thailand. Dalam kedudukan 1-1, tersulut keributan ketika sayap kanan Andi Lala di kartu merah oleh wasit Othman Omar. Terjadi adu jotos antarpemain. Wasit asal Malaysia itu dinilai banyak merugikan Indonesia. Kekalahan 1979 baru bisa dibalas lewat final 1987, juga di Jakarta lewat gol pemain kelahiran Trangkil Pati, Ribut Waidi. Itulah medali emas pertama sepak bola kita di SEAGames.
Final edisi ketiga di tempat yang sama kali ini diperkuat oleh faktor-faktor psikososial politik yang sangat tajam, sehingga perasaan suporter tercurah bukan hanya untuk urusan murni sepak bolanya, melainkan menjangkau jauh wilayah kehormatan bangsa. Apalagi, fakta prestasi terakhir membuat sepak bola kita seperti terposisikan di bawah bayang bayang Malaysia lewat hasil Piala AFF 2010. Walaupun di babak grup Bambang Pamungkas dkk unggul 5-1, di dua partai final Malaysia unggul 3-0 dan 2-1.
Dalam SEAG kali ini, Harimau Malaya memang memperlihatkan keunggulan secara tim, dengan kemampuan transisional dalam menyerang dan bertahan. Sedangkan Garuda Muda sebenarnya punya sejumlah pemain dengan kelebihan skill individu yang “memberi perbedaan“.
Lalu apakah hasil final yang menyesakkan ini akan memperpanjang inferioritas sepak bola kita -lebih luas lagi bangsa ini setiap kali berhadapan dengan Malaysia? Ini hanya pernik dari dinamika hubungan kedua negara.
Masih ada arena yang lain, cabang olahraga yang lain, juga pasti aneka persoalan kepentingan dalam relasi kebangsaan yang mewarnai.
Masih ada arena yang lain, cabang olahraga yang lain, juga pasti aneka persoalan kepentingan dalam relasi kebangsaan yang mewarnai.
Lapangan bola hanya “jagat kecil“ dari urusan lebih besar. Atau seperti ditulis oleh sosiolog Desmond Morris dalam The Soccer Tribe, sepak bola mewakili naluri perburuan manusia, yang dalam konteks relasi Indonesia Malaysia, kita sama-sama merasakan apa yang sedang dan akan terus diburu kedua bangsa: harga diri dan kehormatan!
Sumber : Suara Merdeka,22 November 2011
1 komentar:
kalau permusuhan antara indonesia dengan malaysia gara-gara bola mah udah biasa pak.
isnainiah
10.23.373
Posting Komentar