PERILAKU PEJABAT "HEDONIS DAN MATERIALISTIS"

PERILAKU PEJABAT PATUT DISOROT,
RAKYAT BERHAK MEMPERSOALKANNYA

Esensi dari kritik Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD terhadap gaya hidup pejabat bukanlah mempersoalkan pilihan cara hidup seseorang, melainkan kepatutan perilaku pejabat publik. Pilihan cara dan kepatutan haruslah dibedakan, dan tidak pada tempatnya kritik itu ditanggapi secara defensive dengan mengatakan, “gaya hidup itu urusan pribadi sehingga tidak bisa diintervensi“. Menurut kita, perilaku pejabat publik jelas bisa disorot, dan rakyat berhak untuk mempersoalkannya.
Kita acap tidak bisa (atau tidak mau) membedakan antara hak-hak yang masuk dalam lingkup privat, dengan koridor etika kepejabatan yang tentu sarat nilai tentang patut atau tidak patut. Ukurannya, menurut hemat kita sangat mudah, karena berpijak pada kemauan untuk selalu berada di posisi publik: atas nama apa dan untuk kepentingan siapa berada di sebuah jabatan. Pada titik inilah pertanyaan-pertanyaan yang bertaut dengan etika akan selalu mengusik, yakni mengenai baik atau buruk, peduli atau tidak peduli, bertanggung jawab atau tidak bertanggung jawab.
Apa yang disampaikan oleh Busyro mengenai gaya hidup hedonis dan materalistis, serta kritik Mahfud tentang pejabat yang gila hormat, kita yakini tidak mengada-ada.
Itulah realitas yang menjadi bagian dari gaya, dan -jangan-jangan -sudah menjadi budaya. Persoalannya tentu berpusar pada moralitas kekuasaan. Juga sistem dan struktur yang membuat seseorang mudah abai mengapa dan untuk apa dia berada di sana.
Seolah-olah, kekuasaan yang melekat pada seseorang identik dengan aneka privilese berupa fasilitas dan perlakuan. Kepatutan perilaku mestinya bisa dikembangkan dari kemauan untuk selalu berempati, bersimpati, dan punya rasa sepenanggungan dengan lingkungan yang harus dilayani. Perasaan “naik level sosial“ ketika menduduki suatu jabatan akan menjadi jerat yang membuat seseorang enggan memasuki ruang kesederhanaan hidup yang secara universal bisa dirasakan dari pusaran kepedulian. Maka moralitas kepejabatan Mr Sjafruddin Prawiranegara, Pak Hoegeng, atau Baharuddin Lopa pun menyisakan sejarah langka yang seolaholah menjadi mitos.
Mengapa menjadi mitos, karena inspirasi keteladanan para tokoh itu tak secuil pun diadopsi sebagai sikap dan perilaku nyata para pejabat publik kita. Memang benar, tidak semua pejabat, juga tidak semua wakil rakyat di semua level terjebak dalam gaya hidup mewah dan gila jabatan, namun sebagai fenomena jelas kita patut prihatin. Walaupun banyak yang berdalih sudah lebih dahulu kaya sebelum menjabat, tetapi tentu tidak salah mengaitkan fenomena cara hidup ini dengan virus korupsi yang menyebar di hampir semua struktur pusat-pusat kekuasaan.
Sekali lagi, mari kita renungkan esensi kritik Busyro dan Mahfud itu, yakni mengenai usikan kepatutan. Jika kita berkemauan untuk mengembangkan simpati, empati, dan rasa sepenanggungan kepada rakyat, tentulah tidak ada justifikasi seolah-olah gaya hidup macam apa pun merupakan hak bagi seseorang, termasuk pejabat publik. Bersikap defensif semacam itu terhadap keprihatinan publik hanya akan menambah bobot penilaian bahwa lebih banyak mereka yang berada di orbit kekuasaan memang tidak memiliki cukup kepekaan untuk mengemban amanat rakyat.
Sumber: Suara Merdeka

Artikel Terkait



3 komentar:

Rahmatika Varid mengatakan...

semoga qt bisa bermanfaat bagi yg lain....

^_^
Arivatu Ni'mati Rahmatika (09.23.342)

Anonim mengatakan...

seperti halnya analogi sebuah mobil yang sudah rusak dan tidak dapat lagi dikendarai bukannya diperbaiki mobilnya malah diganti-ganti sopirnya akhirnya sehandal-handalnya sopir tersebut mengemudi mobil tadi pasti tidak akan bisa berjalan. begitu juga pemerintahan yang ada saat ini harusnya bukanlah diganti orang-orang yang ada didalamnya tetapi sistem pemerintahannyalah yang harus diganti.semoga menjadi renungan bagi kita semua

Anonim mengatakan...

seperti halnya analogi sebuah mobil yang sudah rusak dan tidak dapat lagi dikendarai bukannya diperbaiki mobilnya malah diganti-ganti sopirnya akhirnya sehandal-handalnya sopir tersebut mengemudi mobil tadi pasti tidak akan bisa berjalan. begitu juga pemerintahan yang ada saat ini harusnya bukanlah diganti orang-orang yang ada didalamnya tetapi sistem pemerintahannyalah yang harus diganti.semoga menjadi renungan bagi kita semua

maaf pak comment di atas lupa dikasih nama :)

Septin R. Riandita
(09.22.153)
Manajemen Syariah

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | WordPress Themes Review